affiliate marketing

Jumat, 03 Februari 2012

Setetes kesejukan menyapa Singaraja

0 komentar
Terik mentari masih setia menemani kota Singaraja ketika hari kian beranjak senja. Bias cahayanya yang mulai teduh dan kemerahan mampu menembus dinding kaca istana kecilku di tanah rantauan ini. Angin bertiup sangat lembut, seakan pucuk daun belimbing pun tak bergeming untuk merasakan hembusannya. Namun, tak seperti rambut-rambut tipis di sekujur tanganku yang mampu menikmati belaian lembut angin sore ini. Di angkasa, terlihat pasukan burung dara melayang-layang sambil memekikkan alunan suara mereka yang sangat khas. Senja yang sempurna. Waktu di mana mentari akan segera kembali keperaduannya. Senja yang selalu dinanti oleh setiap orang di kota yang ditakuti hujan ini.
 Malam mulai merayap, menyelimuti bumi panji sakti. Bintang mulai bertaburan menghiasi angkasa yang cerah. Langit memang tampak begitu cantik tanpa balutan setitik awan. Pun sang putri malam hadir untuk menyempurnakan malam ini. Ia tampak begitu bersinar. Sangat indah. Udara malam ini pun masih seperti malam-malam sebelumnya. Hangat. Malam yang sunyi. Di tengah senyapnya malam, tampak dua ekor kecoak saling berkejaran di depan pintu kamar mandiku. Mereka terlihat sedang dimabuk asmara. Seakan tak acuh atas kehadiranku, mereka asyik menikmati hangatnya malam. Bercumbu. Sangat mesra.
Bila dibandingkan dengan kota-kota di sekitarnya, singaraja memang memiliki musim kemarau yang lebih panjang. Ini menuntutku untuk selalu mengeluh. Hangatnya udara kota pendidikan ini mampu membuatku meneteskan peluh. Sambil menikmati alunan lagu The spirit carries on, kubaringkan tubuh mungilku di atas peraduan kecilku. Seekor cicak yang aneh dengan ekor bercabang seperti lidah ular belang mampu menarik perhatianku. Setiap malam, ia selalu masuk ke kamarku tanpa pernah meminta izin terlebih dahulu. Ia terlihat senang menemani semua aktivitas yang kulakukan, tak terkecuali. Tak jarang aku merasa ia sengaja berkunjung agar dapat mengintipku. Cicak yang aneh, tapi aku menyukai gayanya. Tanpa kusadari, lagu yang dinyanyikan oleh Dream Teater mampu menerbangkanku ke alam bawah sadarku.
Ketika fajar mulai merekah, terdengar suara lonceng pagi yang merdu memecah kesunyian. Diiringi mentari pagi yang mulai bersiap untuk menjalankan tugasnya. Aku terbangun oleh dering Mimi, jam bekerku. Di balik tirai jendela kamarku, terdengar burung murai bernyanyi riang menyambut pagi yang cerah. Udara sekitar masih begitu perawan untuk dinikmati. Hal ini tampaknya tak berlangsung lama, sejuknya udara pagi seketika berubah menjadi panas. Padahal waktu baru menunjukkan pukul 7 pagi. Beginilah suasana siang hari di kota pelajar ini. Ketika matahari membara tepat di atas ubun-ubun, aku bermadikan keringat di dalam kamar kosku. Tidak hanya aku yang mengeluh akibat sengatan panasnya, tetapi tanaman hias yang ada di depan kamarku juga pasti melakukannya. Mereka terlihat begitu menderita menahan kobaran panas sinar matahari, sama sepertiku.
Hari kian bertambah panas, pun udara sekitar menjadi begitu menggerahkan. Mendung perlahan mulai merayap di langit Singaraja. Secuil harapan muncul dibenakku. Ku harap kali ini Tuhan sudi meneteskan setitik kesegaran untuk bumi yang gersang ini. Namun, harapan itu mulai memudar ketika awan gelap itu saling memisahkan diri dari kumpulannya, berpencar ke masing-masing sudut langit Singaraja. Musim pancaroba memang kerap kali membuat cuaca jadi tak menentu. Entah apa yang membuat para awan kembali berkumpul, tapi kurasa Tuhanlah yang meniupkan mereka agar mau berkumpul. Angin mulai berhembus membawa hawa dingin yang langsung menyergap tubuh. Sejuk sekali.
Tak lama berselang, langit akhirnya menurunkan titik-titik air. Semakin lama titik-titik air tersebut semakin banyak. Tampak daun pohon-pohon di halamanku menari-nari ketika diterpa tetesan hujan. Di langit-langit kamarku terdengar suara cicak saling bersautan. Kecoak yang kulihat malam kemarin juga keluar dari liangnya untuk menikmati segarnya hujan pertama di bumi panji sakti ini. Semua bersukacita menyambut hujan perdana ini. Aku terdiam menatap burung-burung walet yang melayang-layang di balik tirai hujan sore ini. Aku beranjak dari tempatku menuju ke halaman rumah. Kuingin hujan memeluk dan menjamah diriku. Kuingin menikmati segar belaiannya ketika menyentuh kulitku. Sungguh tenang dan damai rasanya berada dalam dekapannya.

By: Ni Komang Ayu Sartika Dewi
Singaraja, November 2011

0 komentar:

Posting Komentar